Top Ads

Sunday, 7 July 2013

23:23

Kuasa Hukum Kecewa dengan Tuntutan Jaksa 

Nahkoda KM. Mutia Ladjoni, Amirullah Pasiloi, tak bisa lagi menunjukan kebahagiaannya seperti pada persidangan sebelumnya, karena masih harus berlama-lama di balik jeruji besi. Padahal kuasa hukumnya,  Lisye Sinulingga, SH, MH., Cs., telah berusaha mengajukan permintaan penangguhan penahanan kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Kendari, tapi tak direstui. Meski sidang tabrakan kapal telah memasuki tuntutan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sultra, Nining, SH. menuntut Amirullah 3 tahun 6 bulan, karena
dianggap telah melanggar pasal 359 KUHP tentang kelalaian hingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. "Dalam kecelakaan kapal itu yang terjadi di Selat tiworo, dari 13 penumpang 6 orang meninggal dunia. Sementara 7 orang lainnya selamat," jelas Nining saat membacakan tuntutan di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Efendi Pasaribu, SH. MH kemarin.
Nining menjelaskan,  tabrakan dua kapal laut antara KM Anugerah dan KM Mutia Ladjoni itu terjadi 24 Juni 2012, sekitar pukul 20.10 Wita di sekitar perairan selat Tiworo Kepulauan,  Kabupaten Muna. "Berdasarkan bukti-bukti, dan saksi yang telah dihadirkan, terdakwa Amirullah Pasiloi dituntut 3 tahun 6 bulan penjara," tegas Nining.
Kuasa hukum KM. Mutia, Lisye Sinulingga, SH, MH., yang dikonfirmasi usai persidangan sangat kecewa dengan sikap JPU yang menuntut Kliennya selama 3 tahun 6 bulan. Semestinya JPU dan hakim mempunyai hati nurani seperti apa yang pernah disampaikan bahwa tabrakan kapal ini bukan merupakan suatu kejahatan.
"Kita hanya mempertegas bahwa ini adalah kecelakaan kapal bukan kejahatan pelayaran. Yang pastinya kami akan mengajukan pledoi (Pembelaan), pada  10 juli mendatang," kata  Lisye.
Dirinya heran dengan perkara tersebut. Karena persoalan ini dilarikan ke pidana umum padahal seharusnya diproses di Mahkamah Pelayaran, bukan di peradilan umum. "Kemungkinan, kasus ini dialihkan ke pidana umum karena adanya yang meninggal dunia saat kecelakaan, lantas dianggap sebuah tindak pidana. Padahal kalau dipikir yang terjadi dengan klien saya sama dengan kasus kecelakaan pesawat. Dimana pilot yang menyebabkan banyaknya penumpang meninggal. Mencoba diproses pidananya, tapi tidak bisa terbukti. Karena memang persoalannya berbeda ketika terjadi di darat," jelasnya.
Seharusnya, perkara ini disidangkan secara teknis di Mahkamah Pelayaran. Jika memang keputusan hakim Mahkamah Pelayaran bahwa ada tindak pidana yang terjadi, maka barulah diproses di kepolisiandan dilimpahkan ke peradilan umum.
"Semua orang pasti tidak mengingkan terjadinya kecelakaan, tapi karena kecelakaan datangnya tiba-tiba kita tak bisa menghindarinya. Seperti itulah dengan klien saya, saat terjadi kecelakaan dirinya dan ABK telah berusaha memberikan bantuan kepada korban hingga akhirnya dapat dievakuasi. Bahkan kami juga telah memberikan santunan kepada keluarga korban meninggal dunia Rp 150 juta per orang. Jadi sekali lagi saya berharap agar hakim dapat mengkaji ulang kasus ini," tandasnya.

0 comments:

Post a Comment