Top Ads

Saturday 6 July 2013

11:02
Anjloknya harga komoditas memacu Pemerintah memutar otak untuk mengejar target realisasi penerimaan pajak, selain menyandarkan dari basis sektor perdagangan. Tak pelak fokus penerimaan pajak kini bakal lebih besar kepada sektor-sektor yang tengah bertumbuh, salah satunya berasal dari sektor finansial.    
Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui, penurunan harga komoditas turut menekan nominal revenue perpajakan pada tahun ini. Hal ini terlihat dari realisasi penerimaan pajak sepanjang semester pertama yang jauh di bawah target.

Selama periode paro pertama 2013, realisasi penerimaan pajak hanya 42,3 persen, atau mencapai Rp 485,4 triliun dari target APBN-P 2013 sebesar Rp 1.148,4 triliun.    
Secara akselerasi, penerimaan pajak juga lunglai. Data Kementerian Kuangan menunjukkan pertumbuhan penerimaan pajak semester pertama tahun ini hanya 6,27 persen. Jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mampu bertumbuh 17,85 persen.
Saat itu, penerimaan pajak mampu tembus Rp 456,77 triliun, atau 44,9 persen dari target APBN-P 2012 sebesar Rp 1.106,24 triliun.    

"Pajak kita paling banyak dari sektor tradeable. Karena itu kita harus pikirkan sektor lain yang juga berkembang. Dan sektor yang mengalami pertumbuhan paling cepat salah satunya adalah financial sector," ungkap Chatib usai penandatangan nota kesepakatan antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ditjen Pajak, di Kantor Pusat Ditjen Pajak, kemarin (4/7).    
Namun demikian, Chatib mengatakan upaya tersebut tak mungkin absen dari tantangan. Salah satu kendalanya adalah basis data wajib pajak di sektor finansial masih minim. Sehingga dengan adanya kerjasama antara OJK dan Ditjen Pajak, diharapkan akan ada data base baru.    
"OJK tentu butuh sistem pajak yang kondusif. Sehingga dengan integrasi ini, pihak yang bergerak di financial sector bisa mendapatkan kepastian, karena instrumen pajak dapat memacu sektor keuangan yang sehat. Selaras dengan itu, revenue pajak bisa naik. Paro kedua tahun ini, akan ada extra effort untuk mengejar target penerimaan pajak," paparnya.    
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menjelaskan, beberapa cakupan kesepakatan bersama antara OJK dan Ditjen pajak antara lain harmonisasi regulasi, dan pemanfaatan data dan informasi pelaku industri keuangan.
"Prosesnya masih sangat awal. Yang jelas, dengan terbukanya pintu OJK terhadap Ditjen Pajak, kami bisa mengidentifikasi terhadap isu-isu pajak yang selama ini mungkin jadi persoalan. Ke depan akan saya laporkan secara rutin," terangnya.    
Kendati demikian, Muliaman menyebutkan, tetap ada harmonisasi regulasi yang perlu digarap cepat, misalnya terkait dengan perpajakan produk derivatif, obligasi yang terdapat dalam reksadana, Repo, investor protection fund, dan perpajakan sukuk.    
Dalam pajak obligasi pada reksadana contohnya, OJK kini tengah memperjuangkan pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi di reksadana pada 2014 tetap 5 persen, dari yang seharusnya dipatok oleh regulasi sebesar 15 persen.
"Seperti perpajakan sukuk itu juga topik yang saya dengar langsung dari pasar, bahwa mereka meminta harus ada pembahasan dengan Dirjen Pajak," jelasnya.    
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menjelaskan, secara umum tingkat kepatuhan wajib pajak di seluruh sektor masih belum memadai, termasuk di sektor finansial, yang meliputi perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non bank.
"Di industri keuangan juga belum optimal penerimaan pajaknya. Padahal industri ini mestinya lebih modern dan transparan, sehingga jadi contoh industri lain," terangnya.

0 comments:

Post a Comment