Kendari - Dua perkara hukum kini tengah dihadapi PT Bososi, sebuah perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Konawe Utara. Tak hanya diduga melakukan penipuan terhadap buyernya, PT Bososi juga diduga tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementrian Kehutanan RI terkait areal peruntukan lain (APL). Indikasi penyimpangan perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Kabupaten Konut tersebut akhirnya dilaporkan ke Polda Sultra untuk proses hukum.
Kasubid PPID Polda Sultra, Kompol Dolfi Kumaseh mengungkapkan, perkara PT Bososi yang dilaporkan sekelompok warga atas dugaan tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan, kini sedang ditangani oleh Subdit Tipiter Ditreskrimsus. Informasi awal yang diterima penyidik bahwa, pihak perusahaan sudah tiga kali melakukan pengapalan ore nikel, namun ditengarai belum mengantongi surat izin pinjam pakai kawasan hutan.
"Perkara ini, baru sebatas laporan dari masyarakat. Kami baru mau menindaklanjutinya dengan meminta klarifikasi dari pihak perusahaan. Informasi yang kami peroleh bahwa PT Bososi sudah mengantongi izin prinsip dari Dinas Kehutanan Kabupaten Konut. Meski demikian, kami tetap akan menindaklanjuti laporan tersebut untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya," terang Kompol Dolfi Kumaseh.
Terkait dengan dugaan penipuan yang dialamatkan ke PT Bososi, kata dia, sebenarnya yang bermasalah bukan PT Bososi, tapi perusahaan JO (joint operation) yang beperkara yakni PT TNB. Sebuah perusahaan yang diberi kepercayaan oleh PT Bososi melakukan transaksi penjualan nikel ke perusahaan luar negeri. "Kasus ini ditangani oleh Subdit I Ditreskrimum Polda Sultra. Kami sementara melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Pelapornya adalah PT Peratnas, sebuah perusahaan pembeli nikel dari India dan terlapornya adalah H. Sapri, pimpinan PT TNB," ungkapnya.
Kasus kedua perusahaan tersebut terjadi berawal ketika PT TNB meneken kontrak dengan PT Peratnas dalam hal jual beli ore nikel. PT TNB sebagai perusahaan JO PT Bososi menawarkan kepada PT Peratnas ore nikel. Dalam kontrak yang mereka sepakati, salah satu item yang diduga dilanggar oleh PT TNB adalah, ore nikel yang akan dijual memiliki kadar 1,9 persen. Faktanya, ore nikel yang sudah ada di kapal tongkang milik PT TNB hanya memiliki kadar 1,6 persen.
Pihak PT Peratnas tak mau menerima hal tersebut dan meminta PT TNB membongkar nikel tersebut. Namun, perusahaan yang dipimpin H. Sapri itu juga enggan menyahutinya. Ore nikel pun terbengkalai di kapal tongkang. Akhirnya, pihak PT TNB mengajukan gugatan perdata di PN Unaaha dengan alasan PT Peratnas mengingkari kontrak yang telah diteken dan menolak ore nikelnya. Perkara itu masih digelar di PN Unaaha.
Disisi lain, PT Peratnas pun merasa dirugikan karena uang muka dari penandatangan kontrak tersebut telah diserahkan ke PT TNB. PT Peratnas melaporkan perkara itu ke Ditreskrimum Polda Sultra sebagai dugaan penipuan. "Ini kan PT Peratnas sudah meminta PT TNB membongkar ore nikel yang ada ditongkang karena kadarnya tidak sesuai dengan isi perjanjian. Jika memang ada kesengajaan dari PT TNB tidak memenuhi isi perjanjian tersebut, maka unsur penipuannya bisa terbukti," jelasnya.
"Kami masih melakukan pendalaman penyelidikan. Beberapa bukti petunjuk kami sedang kumpulkan, termasuk meminta keterangan kepada beberapa pihak terkait. Kasus ini masih berlanjut," terang Kompol Dolfi.
Thursday, 25 July 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment