Top Ads

Saturday 20 July 2013

11:55
1

Kisah Pilu ABK asal Indonesia Korban Trafficking 

     Sudah seminggu ini pelataran gedung Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jakarta menjadi arena demo puluhan mantan anak buah kapal (ABK) asing. Mereka menuntut perlindungan sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking).
Pulang ke Indonesia Sudah Ditinggal Istri

GUNAWAN SUTANTO, Jakarta
  Sejumlah poster dibentangkan di pagar dan tiang depan Kantor BNP2TKI, Jalan MT Haryono 52, Jakarta Selatan. Senin malam (16/7) itu belasan orang tertidur pulas. Beberapa orang lagi asyik terlibat pembicaraan. Mereka korban human trafficking. Dua hingga tiga tahun lalu mereka direkrut dua perusahaan penyalur tenaga kerja spesialis anak buah kapal (ABK) asing pencari ikan. Mereka disalurkan ke
sebuah perusahaan kapal pencari ikan di Taiwan.
     "Rekrutmen kami berbeda-beda. Kami bertemunya di atas kapal saat melaut," ujar Ade Irawan, koordinator aksi.  Menurut Ade, ada sekitar 203 pekerja Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan milik perusahaan Taiwan, Kwojeng. Para pekerja itu disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), PT Karlwei Multi Global (Kartigo) dan PT Bahana. "Yang masuk lewat Kartigo ada 163 orang dan yang melalui Bahana ada 40 orang," jelas Ade.
     Ade termasuk korban yang paling lama bekerja di perusahaan tersebut. Dia meninggalkan kampungnya di Indramayu, Jawa Barat, sejak usia 18 tahun. Melalui rayuan calo, dia diiming-iming kerja di Taiwan sebagai ABK dengan gaji dolar. Oleh calo, Ade dimintai uang hingga Rp 1 juta. "Teman-teman ini juga keluar duit untuk calo. Ada yang habis Rp 800 hingga Rp 1 juta," paparnya.
   Pemuda asal Lohbener, Indramayu, itu menceritakan, selama bekerja di kapal, para ABK menghabiskan waktu di laut. Mereka jarang bersandar. Setelah mendapatkan ikan, kapal-kapal itu tidak merapat ke pelabuhan. Mereka menyerahkan ikan ke kapal collecting (pengumpul ikan).     "Kapal collecting inilah yang membawa ikan ke pelabuhan. Kapal ini juga yang menyuplai bahan bakar serta makanan untuk para ABK," terang Ade.
    Hampir seluruh pekerja dari Indonesia bekerja di kapal longline milik perusahaan Kwojeng. Di Karibia sendiri ada 12 kapal longline Kwojeng yang seluruhnya terdapat pekerja dari Indonesia.  "Di kapal itu ada 14 ABK, seorang kapten, dan kepala mesin. Sebagian besar ABK-nya dari Indonesia. Hanya ada beberapa orang dari Vietnam," tutur Mustain, ABK asal Tegal, Jawa Tengah.
    Selama bekerja di dalam kapal, Ade, Mustain, dan ABK lain tidak luput dari tindak penganiayaan. "Hal seperti itu kami rasakan saat awal-awal bekerja. Sebab, kami sering keliru menerjemahkan perintah kapten kapal. Kalau sudah dianggap salah seperti itu,  mereka main pukul," papar Mustain.
    Ade dan sejumlah ABK sempat mengira mereka bekerja di Spanyol. Sebab, mereka sering mendengar kata Spain. Ternyata, kata itu merujuk pada Port of Spain, ibu kota Trinidad Tobago. "Kami dengarnya, mereka ngomong spain-spain. Saya ingat kalau nonton sepak bola Spain itu Spanyol. Eh, ternyata bukan di Spanyol," ungkap Mustain.
     Selama bekerja di atas kapal,  mereka tidak pernah menerima gaji. Padahal, setiap hari ABK itu harus bekerja sekitar 20 jam. Start pada dini hari sekitar pukul 02.00 dan baru bisa ngaso pukul 10 malam. "Setiap harinya kami hanya bisa tidur sekitar tiga jam. Kalau pada jam kerja belum bangun, ya bisa dipukuli kapten," terang Dana, ABK asal Bongas, Indramayu.
     Mereka mendapatkan tiga kali makan dengan menu ala kadarnya. Ade ingat betul makanan pagi yang rutin disajikan ialah bubur. Siang hari ada makanan dengan menu lebih lengkap. Namun, belakangan diketahui makanan itu mengandung babi.  "Malamnya kita selalu diberi mi kolor," kata Dana.
   Petaka terjadi pada Juli 2012. Tiba-tiba 12 kapal longline Kwojeng mendekat ke perairan dangkal. "Ternyata,  kapten kapal meninggalkan kami. Katanya, perusahaan sudah tidak beroperasi. Kami disuruh menunggu di kapal sampai ada kejelasan pembayaran gaji," terang Ade. Mereka pun hidup tanpa kejelasan di atas kapal. Barang-barang di kapal hanya bisa dibuat bertahan hidup tidak sampai satu bulan. "Awalnya, kami masih bisa makan dan masak sendiri dari bahan-bahan yang masih ada. Tapi, itu hanya cukup tak sampai sebulan," cerita Ade.
   Mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Ketika persediaan air minum habis, mereka memanfaatkan air hujan. "Ketika hujan datang, teman-teman nadahi air. Ada juga yang memanfaatkan air dari AC (air conditioner)," paparnya. Saat diterlantarkan itu, sejumlah ABK memang hanya tinggal di beberapa kapal. Mereka mengumpulkan solar dari 12 kapal untuk dipindah ke kapal yang digunakan tempat tinggal.
   Beberapa ABK berupaya ke darat dengan menumpang sampan nelayan. Mereka membayar "sewa" sampan dengan memberikan peralatan memancing di kapal. Perjalanan dari tempat jangkar kapal dengan daratan sekitar satu jam. Nah, saat berada di darat itulah, para ABK ditangkap polisi. Peristiwa apes sekaligus berkah bagi mereka. Sebab, dari penangkapan aparat Trinidad Tobago itu, ada ratusan ABK telantar di kapal. Aparat setempat kemudian menghubungi perwakilan Indonesia di Venezuela.
     "Dari situ, perwakilan dari kedutaan mendatangi kami. Kami dipulangkan bertahap dengan alasan harga tiket yang mahal," terang Ade. Kloter pemulangan terakhir sampai Indonesia sekitar Februari lalu. Kini Ade dan kawan-kawannya sedang menuntut peran BNP2TKI untuk membantu mengurus gaji mereka yang tidak terbayarkan.
     Gaji yang dijanjikan perusahaan adalah USD 180 atau sekitar Rp 1,85 juta per bulan. Selasa lalu (9/7) para ABK sempat ditemui Ketua BNP2TKI Jumhur Hidayat. Menurut Jumhur, pihaknya hanya bisa memediasi perusahaan dan para ABK. "Namun, hingga kini belum ada titik temu. Sebab,  perusahaan mengaku sudah bangkrut karena pimpinan mereka sedang ditahan Mabes Polri perkara perdagangan orang," terangnya.
     Akibat peristiwa tersebut,  sejumlah ABK mengalami kejadian tidak mengenakkan. Dana, misalnya, ditinggal nikah lagi oleh istrinya. Sebab, selama dua tahun dia tidak pernah memberikan kabar dan mengirim materi. "Gimana mau ngasih kabar, pinjam untuk telepon ke Indonesia dari atas kapal dikenai biaya USD 180 per lima menit," keluh Dana. Jika ingin pulang, para ABK ini diancam denda USD 500 (dekitar Rp 5 juta). Dana  shock ketika ditinggal nikah oleh istrinya. Dana  sempat marah. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dana juga harus menanggung utang belasan juta kepada saudaranya. Sebagian uang itu untuk biaya keberangkatan dua tahun lalu.

1 comments:

  1. kalau sampai pemerintah tidak menindak lanjuti masalah abk yg diperlakukan tidak manusiawi oleh taiwan atau pihak asing...sungguh sangat menyesal saya memilih joko widodo sebagai presiden ..tolong pak presiden widodo perhatikanlah nasib abk dan calon abk muda beri mereka perlindungan ......

    ReplyDelete