Pemerintah dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) mengubah usul pemilihan oleh DPRD yang awalnya digagas untuk tingkat gubernur dipindah ke tingkat kabupaten/kota. Pertimbangan itu diambil atas dasar penghematan anggaran, termasuk fakta konflik yang terjadi lebih banyak di daerah tingkat II. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga merumuskan RUU Pilkada mendukung usul pemerintah tersebut.
"Permasalahan terkait penyelenggaraan pilkada sudah demikian mengkhawatirkan. Mendesak kita untuk me-review sistem," kata Farouk Muhammad, ketua Tim Kerja RUU Pilkada DPD, dalam diskusi bertema Dinamika Pilkada di Berbagai Daerah Jelang Pemilu 2014 di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (5/7).
Farouk menyatakan, awalnya DPD mendorong pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, tetap dilakukan secara langsung. Akan tetapi, muncul fakta bahwa ongkos pilkada sangat mahal yang jadi pangkal korupsi serta kerawanan konflik di masyarakat. "Ongkos pilkada saat ini mencapai triliunan rupiah," ujar Farouk mengingatkan.
Dalam hal itu, DPD sependapat dengan pandangan pemerintah untuk mengadakan pemilihan oleh DPRD di tingkat kabupaten/kota. Setidaknya ada dua alasan pemilihan DPRD tidak dilakukan di tingkat gubernur. Jika pilkada bupati/wali kota diadakan di DPRD, potensi penghematan anggaran mencapai triliunan rupiah. "Penghematan triliunan itu bisa digunakan untuk pos anggaran pemerintah lainnya," kata Farouk.
Pemilihan gubernur langsung juga akan memunculkan legitimasi. Menurut Farouk, selaman ini ada sejumlah bupati/wali kota yang "membangkang" karena merasa memiliki legitimasi yang sama. "Kalau gubernur dipilih langsung dan bupati/wali kota dipilih DPRD, persoalan itu bisa teratasi," ujarnya.
Farouk menambahkan, potensi konflik pada pemilihan langsung tingkat gubernur selama ini juga relatif kecil. Menurut dia, potensi konflik justru lebih tinggi di pemilihan bupati/wali kota atas dasar kedekatan subjek. "Pileg, pilpres, pilgub relatif aman. Sementara itu, makin dekat subjek dengan yang dipilih, makin rentan terjadi konflik," katanya.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, tidak ada hal yang bersifat prinsip dalam persoalan-persoalan pilkada. Yang jadi persoalan adalah miskinnya mentalitas, baik dari penyelenggara maupun peserta hingga berujung konflik. "Kemarahan atau konflik publik dalam pilkada juga disebabkan adanya setting-an," ujar Ray.
Menurut Ray, publik saat ini makin acuh tak acuh dengan pilkada. Itu disebabkan ada sejumlah pihak yang memanfaatkan situasi yang kemudian memanfaatkan publik sebagai pelaku. Menurut Ray, perubahan tidak akan terjadi jika aktor-aktor dalam pemilu tidak melalukan perbaikan. "Sistem tidak terlalu berpengaruh jika mental pelaku atau aktornya masih miskin," tandasnya.
Sunday, 7 July 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment