Pemerintah daerah dan calon kepala daerah ternyata sering memolitisasi dunia pendidikan. Bahkan, para calon kepala daerah terkadang memanfaatkan isu pendidikan maupun organisasi guru untuk kepentingan politiknya.
’’Saya juga ingin mengingatkan kepada pemerintah daerah, para gubernur, bupati dan walikota serta para calon kepala daerah untuk menghindari politisasi pendidikan dan melibatkan para guru dan organisasi guru dalam Pemilukada,’’ kata Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Irman
Gusman saat Kongres Nasional ke-XXI Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Gedung Istora Senayan, Jakarta, Selasa (2/7).
Irman menambahkan, berdasarkan laporan langsung yang diterima DPD, sambungnya, maupun melalui pemberitaan, sering terjadi politisasi guru dengan melibatkan beberapa guru sebagai tim sukses atau tim kampanye. ’’Upaya mempolitisasi guru adalah tindakan tidak bijak karena dapat mengorbankan dunia pendidikan,’’ jelas Irman.
Menurutnya, janji-janji kampanye di dalam Pemilukada yang menjadikan pendidikan sebagai objek seperti menjanjikan pendidikan gratis, harus dihindari. Pasalnya, pendidikan gratis belum tentu sama dengan pendidikan bermutu.
Irman menilai akan lebih baik yang diprogramkan adalah pemberian beasiswa seluas-luasnya kepada siswa berprestasi dan murid dari keluarga miskin tapi punya kemauan keras untuk menjalani pendidikan. Sementara pendidikan gratis sebaiknya hanya diberikan kepada siswa kurang mampu.
’’Yang perlu diperhatikan adalah kualitas dari pendidikan itu sendiri. Bagaimana kualitas pendidikan yang diberikan di kota maupun di desa dapat setara. Beasiswa harus dibuka dan dipublikasikan seluas-luasnya, khususnya untuk para siswa kurang mampu,” kata Irman.
Mengenai politisasi guru ini pernah pula diingatkan oleh Presiden dalam sambutannya pada puncak peringatan HUT ke-67 PGRI pada 4 Desember 2012. Dalam kesempatan itu, Presiden sempat mengingatkan Mendagri agar membuat aturan tegas mengenai hal ini, sehingga guru dan para pendidik tidak terombang-ambing lalu menjadi korban dalam politik pemilukada.
’’PGRI sebagai organisasi profesi guru dan pendidik, untuk membuat aturan tegas dan menegakkan kode etik profesi untuk menghindari para anggotanya terlibat dalam politik praktis, termasuk dalam pemilukada,’’ ulas Irman.
Senator asal Provinsi Sumatera Barat ini juga menyoroti persoalan klasik dalam dunia pendidikan yang hingga saat ini belum terselesaikan, seperti praktik sentralisasi pemerintahan telah menimbulkan berbagai kesenjangan, termasuk kesenjangan infrastruktur pendidikan dan penyebaran guru yang tidak merata. ’’Masih tingginya jumlah penduduk miskin juga bagian dari masalah pendidikan di Indonesia,” terang dia.
Untuk itu DPD telah berkomitmen dan mengajak PGRI bekerjasama dalam memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia khususnya di daerah-daerah, serta memperjuangkan nasib guru terutama guru honorer di daerah-daerah. ’’Kami bersama-sama PGRI akan memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia,’’ pungkas Irman.
Sementara itu, Ketua PB PGRI Sulistyo menambahkan guru sering kali menjadi korban politik. Salah satunya dimutasi secara tidak profesional setelah Pemilukada. Pengaruh guru di tengah masyarakat kerap dimanfaatkan calon kepala daerah, terutama petahana untuk ikut berpolitik dan menggalang massa. ’’Guru itu nonpartisan, dan PB PGRI merupakan organisasi independen,” jelas dia.
Karena itu, Sulistyo meminta pemerintah memberikan perlindungan terhadap keberadaan guru, terutama dari upaya politisasi menjelang pilkada. Sebagai warga negara, guru memiliki hak berpolitik yang tidak boleh diganggu siapa pun. ’’Namun faktanya, tidak sedikit guru yang dibawa-bawa ke ranah politik oleh kelompok tertentu, terutama pihak yang sedang berkuasa,” ulasnya.
Saturday, 6 July 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment