-11 Pasang Santri Ponpes Hidayatullah Menikah Massal (2-habis)-
Menikah massal seberanya sudah lazim digelar, dan difasilitasi pemerintah. Tapi biasanya itu diperuntukan bagi mereka yang sudah hidup serumah tanpa surat nikah. Biasanya, pesertanya pun rata-rata sudah berusia tidak muda lagi. Pernikahan massal di Ponpes Hidayatullah terasa istimewa karena memang diniatkan untuk membangun keluarga Sakinah, bukan sekedar melegitimasi perzinahanSafriyanti
Menikah bagi para santri di Ponpes Hidayatullah adalah ibadah. Para akhwatnya-sebutan bagi perempuan- menikah bukan karena fisik, tapi komitmen kepada Allah sang maha pencipta untuk menjalani rumah tangga dalam bingkai kehidupan yang harmonis bersama pasangan. Jadi, soal fisik bukan perkara utama yang diprioritaskan. Terpenting, masing-masing pihak siap secara mental untuk membina rumah tangga, dan melari bahtera rumah tangga seperti rumah tangga panutan semua umat Islam, Nabi Muhammad SAW.
Simak saja pengakuan salah seorang santri bernama Suhartin yang dua hari lalu menikah dan mengucap janji dengan pria bernama Akbar Muksidar. Katanya, sejak awal ia sama sekali tidak memiliki memiliki gambaran seperti apa rupa sang suami. Bayangan akan sosok pria pendamping hidupnya belum tergambar dibenaknya, sehingga rasa penasaran selalu menghatuinya.
Untunglah, tradisi pernikahan tanpa perkenalan itu tidak membuatnya membatalkan pernikahan. Ia optimis, pria yang dipihkan pihak pesantren adalah laki-laki yang tepat dan mampu mengayominya selama berumah tangga. Ia percaya, jodoh yang dialamatkan Tuhan padanya, lewat perantaraan para pengasuh pondok sudah yang terbaik dan diyakini bisa membimbing dan menjadi imam bagi keluarganya. Pria itu ia yakini bisa menjadi ayah yang baik buat anak-anaknya kelak.
Kebiasaan menikah massal di Ponpes Hidayatullah menurut Muliati pengurus pesantren Hidayatullah Sultra sudah berlangsung sejak tahun 90-an. Selain untuk memandirikan para santri, pernikahan massal juga dihelat untuk mengefesienkan waktu dan anggaran. Sebab, dalam pernikahan, mempelai laki-laki tidak diwajibkan untuk menyiapkan uang mahar. Kecuali kalau pihak keluarga berinfak, maka pihak pesantren menerima untuk membiayai resepsi pernikahan.
Sebagai maskawin, mempelai pria hanya diwajibkan menyiapkan seperangkat peralatan shalat dan satu buah Alquran. "Sebenarnya ada satu orang yang batal dari mempelai perempuan. Sebab, keluarganya mengharapkan agar sang anak diberikan uang tunai sebagai maskawin. Namun, aturan kami tidak seperti itu. Kami tidak mau membiasakan mahar dengan uang, makanya mereka membatalkan pernikahan, dan kami berinisiatif untuk mengganti mempelai perempuan dengan santriwati lain yang sudah siap menikah," ungkap Muliati.
Wanita yang mengenakan cadar itu mengakui, hajatan serupa rutin digelar setiap tahun. Namun, dibandingkan dengan tahun-rtahun sebelumnya, kali ini adalah pasangan yang terbanyak. Penyelenggaraannyapun kata dia dilakukan di tempat yang berbeda-beda, di Ponpes Hidayatullah yang tersebar di Sultra.
Lalu bagaimana caranya menjodohkan para santri? Sebenarnya kata Muliati itu tidak terlalu sulit. Sebab sebelum pernikahan, ada proses tanya jawab antara calon mempelai dan pihak pesantren. Melalui prosesi yang berlangsung selama dua bulan itulah, panitia mengetahui seperti apa kriteria yang diinginkan masing-masing pasangan. Dari kategori yang disebutkan, panitia menentukan kecocokan pasangan. "Kalau mempelai laki-laki mereka sudah diperlihatkan foto calon mempelai perempuan pada saat penandatanganan persetujuan menikah, tapi yang perempuan sama sekali belum punya gambaran calon suami mereka," katanya.
Usai proses ijab kabul, para mempelai diarahkan menuju ke pelaminan yang dibuat terpisah antara mempelai laki-laki dan perempuan. Lantunan musik yang terdengar layaknya dalam proses resepsi pernikahan pada umumnya tidak terdengar. Para tamu dan mempelai disuguhkan tauziah dan nasehat-nasehat pernikahan dari ustaz. (***)
0 comments:
Post a Comment